Seiiring
dengan semakin mengglobalnya dunia, batas antar negara di dunia semakin tipis.
Karena secara tidak langsung dengan adanya globalisasi, perlahan-lahan dunia
terpaksa menggunakan sistem yang sama, baik dari sisi ekonomi, politik maupun
budaya. Khususnya dalam bidang ekonomi, globalisasi diidentikkan dengan
penggunaan sistem liberal yang menuntut diminalisasikannya hambatan-hambatan
dalam interaksi ekonomi. Hambatan-hambatan tersebut berupa penghilangan
proteksi nasional dan hambatan regional, yang mengarah pada perdagangan global.
Hal ini tentu sangat berpengaruh pada kepentingan ekonomi setiap negara karena
menjadi terfragmentasi dan bahkan,terkadang timbul berbagai resistensi terhadap
tren ekonomi global ini.
Di
Jepang sendiri, terjadi perubahan dalam struktur ekonominya dimana para aktor
yang berkecimpung dalam ekonomi Jepang harus mengadaptasikan pandangan global
tersebut dalam merencanakan dan menjalankan strategi ekonominya. Hasilnya,
perlindungan nasional terhadap perdagangan dan kepentingan industri semakin
sulit dilakukan mengingat tingkat kompetisi dan komunikasi global, serta
perdagangan bebas yang semakin membesar. Oleh karena itu, dilaksanakan beberapa
restrukturisasi kebijakan ekonomi di tingkat domestik dan internasional untuk
mengatasi goncangan ekonomi akibat perdagangan bebas.
Sektor
yang paling dilindungi oleh Jepang adalah sektor pertanian, khususnya beras.
Kebijakan ini menimbulkan banyak tentangan dari berbagai negara di dunia yang
menginginkan Jepang menghilangkan proteksinya. Tekanan internasional (gaiatsu) tersebut paling dirasakan saat
Putaran Uruguay tahun 1993 yang mengagendakan liberalisasi perdagangan produk
pertanian dan perdagangan jasa. Melihat masih adanya kebijakan proteksi yang
diterapkan Jepang pada masa liberalisasi ekonomi ini, menunjukkan bahwa Jepang
belum sepenuhnya menjadi negara liberalis, dan masih menjadi negara merkantilis
yang memperjuangkan dan melindungi kepentingan nasionalnya. Dalam menjalankan
hal tersebut, Jepang dengan cukup sukses melaksanakan dua kepentingannya, yaitu
memanfaatkan sistem perdagangan internasional untuk keuntungan yang sebesarnya
(liberalis), dan di sisi lain melindungi sektor pertaniannya dari serbuan
produk asing serta mengintervensi ekonomi dalam tataran kebijakan
(merkantilis).
Salah
satu faktor keberhasilan ekonomi politik Jepang di dunia internasional adalah
adanya hubungan koordinasi yang solid dan kerjasama yang saling menguntungkan
antara birokrat, politisi (partai politik) dan pengusaha. Hubungan ketiganya
disebut sebagai iron triangle. Iron triangle merupakan aktor-aktor utama yang
mendukung peningkatan ekonomi Jepang . Adanya hubungan Iron Triangle tersebut
menjadikan Jepang mendapat julukan sebagai Japan Inc. Japan Incoorporated
merupakan hubungan informal yang mengibaratkan Jepang sebagai perusahaan.
Hubungan yang erat antara pemerintah dan bisnis ini sudah terjalin sejak pasca
PD II di mana dalam hubungan tersebut terdapat cita-cita bersama yaitu untuk
rekonstruksi nasional dan pertumbuhan ekonomi demi mengejar ketertinggalannya
dari Barat. Japan Incoorporated memiliki 2 komponen, yaitu structure atau
institution serta kebijakan. Sebagai suatu struktur, Japan Inc merupakan
mekanisme politik dan sistem yang mapan dengan kerangka budaya family like relationship.
Birokrasi
yang paling berperan dalam sistem kebijakan luar negeri Jepang adalah MoFA
(Ministry of Foreign Affairs / gaimushoo), yang mengkoordinir penyaluran ODA
(Official Development Assistant). MoFA mempunyai otoritas administratif yang
besar dalam perencanaan dan pelaksanaan program yang dibiayai ODA. Mengingat
besarnya peran ODA dalam membawa Jepang ke percaturan dunia, maka ODA kerap
disebut sebagai pilar dari diplomasi Jepang. Untuk itu, MoFA membentuk JICA
sebagai agensi yang menangani bantuan teknis. Pemberian ODA Jepang terhadap
negara-negara berkembang di dunia (termasuk perbaikan infrastruktur, hutang,
maupun hibah) pada dasarnya merupakan stimulus bagi kelancaran investasi dan
operasional perusahaan-perusahaan Jepang yang ada di negara tersebut.
Selain
MoFA, ada pula MITI(saat ini METI). Keberadaan METI menjadi semakin penting
setelah tahun 1970-an, di mana Jepang lebih banyak terlibat dalam hubungan
ekonomi dan perdagangan dengan negara lain, sehingga bidang ini lebih dikuasai
METI karena isu-isu ekonomi internasional lebih banyak dibahas. Selain itu,
yang merumuskan industrial policy
adalah METI. Administrative guidance ini
digunakan perusahaan-perusahaan / bisnis Jepang di manapun berada. Inti dari industrial policy adalah pada peran
pemerintah yang intervensi secara sadar mempengaruhi sektor-sektor ekonomi agar
mengikuti kebijakan pemerintah. Industrial
policy berkaitan erat dengan bidang perdagangan, pasar tenaga kerja, competition policy (agar barang yang
diproduksi bisa bersaing) serta insentif perpajakan (berupa pajak yang ringan
bagi pelaku bisnis). Adanya peran pemerintah yang diwakili oleh birokrasi ini
menunjukkan bahwa perdagangan internasional yang dilakukan Jepang mendapat
dukungan dari negara, bahkan hingga negara tujuan investasi. Pemerintah Jepang
dengan jelas memberikan perhatiannya pada faktor pendukung pasarnya di tingkat
internasional. Sehingga, dari sisi ini, merkantilisme pemerintah Jepang menjadi
semakin jelas. Untuk mengetahui sektor lain yang mendapat perhatian dan
perlindungan yang besar (terutama sektor pertanian domestik), akan dijelaskan
pada bagian selanjutnya.
Nah,
jadi yang perlu diambil pelajaran oleh Indonesia dari pengalaman Jepang ini
adalah pemerintah Indonesia harus dengan secara sadar memilah-milah sektor mana
saja yang sudah siap dan mana yang belum. Kesiapan dan kekuatan sektor tersebut
sangat penting mengingat adanya penjelasan yang menyebutkan bahwa apabila
persyaratan kekuatan domestik belum dipenuhi sebelum terjun ke area perdagangan
bebas, maka jika negara membiarkan pasar bebas berlaku sementara posisi sendiri
lemah, hal tersebut hanya akan menghancurkan diri sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar