Sunan Gunung Jati? Fatahilah? Gunung Jati? Fatahillah?...Mungkin sebagian dari kalian ada yang menanggap antara kedua tokoh tersebut sama tapi ada sebagian yang beranggapan sama atau malah ada yang bingung beda atau sama? Nah kali ini saya akan mengupas beberapa fakta, sebenernya Gunung Jati dengan Fatahillah itu beda atau sama?
Sebelum era Sunan Gunung Jati berdakwah di Jawa Barat. Ada seorang
ulama besar dari Bagdad telah datang di daerah Cirebon bersama duapuluh dua
orang muridnya. Ulama besar itu bernama Syekh Kahfi. Ulama inilah yang lebih
dahulu menyiarkan agama Islam di sekitar daerah Cirebon. Al-Kisah, putra Prabu
Siliwangi dari Pajajaran bernama Pangeran Walangsungsang dan adiknya Rara
Santang pada suatu malam mendapat mimpi yang sama. Mimpi itu terulang hingga tiga
kali yaitu bertemu dengan Nabi Muhammad yang mengajarkan agama Islam. Wajah
Nabi Muhammad yang agung dan caranya menerangkan Islam demikian mempesona
membuat kedua anak muda itu merasa rindu. Tapi mimpi itu hanya terjadi tiga
kali. Seperti orang kehausan, kedua anak muda itu mereguk air lebih banyak
lagi, air yang akan menyejukkan jiwanya itu agama Islam. Kebetulan mereka telah
mendengar adanya Syekh Dzatul Kahfi atau lebih muda disebut Syekh Datuk Kahfi
yang membuka perguruan Islam di Cirebon. Mereka mengutarakan maksudnya kepada
Prabu Siliwangi untuk berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, mereka ingin
memperdalam agama Islam seperti ajaran Nabi Muhammad SAW. Tapi keinginan mereka
ditolak oleh Prabu Siliwangi. Pangeran Walangsungsang dan adiknya nekad, keduanya
melarikan diri dari istana dan pergi berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Gunung
Jati. Setelah berguru beberapa lama di Gunung Jati, Pangeran Walangsungsang
diperintahkan oleh Syekh Datuk Kahfi untuk membuka hutan di bagian selatan
Gunung Jati. Pangeran Walangsungsang adalah seorang pemuda sakti, tugas itu
diselesaikannya hanya dalam beberapa hari. Daerah itu dijadikan pendukuhan yang
makin hari banyak orang berdatangan menetap dan menjadi pengikut Pangeran
Walangsungsang. Setelah daerah itu ramai Pangeran Walangsungsang diangkat
sebagai kepala Dukuh dengan gelar Cakrabuana. Daerahnya dinamakan Tegal
Alang-alang. Orang yang menetap di Tegal Alang-alang terdiri dari berbagai rasa
atau keturunan, banyak pula pedagang asing yang menjadi penduduk tersebut, sehingga
terjadilah pembauran dari berbagai ras dan pencampuran itu dalam bahasa Sunda
disebut Caruban. Maka Legal Alang-alang disebut Caruban. Sebagian besar rakyat
Caruban mata pencariannya adalah mencari udang kemudian dibuatnya menjadi petis
yang terkenal. Dalam bahasa Sunda Petis dari air udang itu, Cai Rebon. Daerah
Carubanpun kemudian lebih dikenal sebagai Cirebon hingga sekarang ini. Setelah
dianggap memenuhi syarat, Pangeran Cakrabuana dan Rarasantang di perintah Datuk
Kahfi untuk melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Di Kota Suci Mekkah, kedua
kakak beradik itu tinggal di rumah seorang ulama besar bernama Syekh Bayanillah
sambil menambah pengetahuan agama. Sewaktu mengerjakan tawaf mengelilingi
Ka’bah kedua kakak beradik itu bertemu dengan seorang Raja Mesir bernama Sultan
Syarif Abdullah yang sama-sama menjalani Ibadah haji. Raja Mesir itu tertarik
pada wajah Rarasantang yang mirip mendiang istrinya. Sesudah ibadah haji
diselesaikan Raja Mesir itu melamar Rarasantang pada Syekh Bayanillah. Rarasantang
dan Pangeran Cakrabuana tidak keberatan. Maka dilangsungkanlah pernikahan
dengan cara Mazhab Syafi’i. Nama Rarasantang kemudian diganti dengan Syarifah
Mudaim. Dari perkawinan itu lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.
Pangeran Cakrabuana sempat tinggal di Mesir selama tiga tahun. Kemudian pulang
ke Jawa dan mendirikan Negeri Caruban Larang. Negeri Caruban Larang adalah
perluasan dari daerah Caruban atau Cirebon, pola pemerintahannya menggunakan
azas Islami. Istana negeri itu dinamakan sesuai dengan putri Pangeran
Cakrabuana yaitu Pakungwati. Dalam waktu singkat Negeri Caruban Larang telah
terkenal ke seluruh Tanah Jawa, terdengar pula oleh Prabu Siliwangi selaku
penguasa daerah Jawa Barat. Setelah mengetahui negeri baru tersebut dipimpin
putranya sendiri, maka sang Raja tidak keberatan walau hatinya kurang berkenan.
Sang Prabu akhirnya juga merestui tampuk pemerintahan putranya, bahkan sang
Prabu memberinya gelar Sri Manggana. Sementara itu dalam usia muda Syarif
Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan
kedudukannya sebagai Raja Mesir, tapi anak muda yang masih berusia dua puluh
tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah Jawa berdakwah di
Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu
Syarif Nurullah. Sewaktu berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru
kepada beberapa ulama besar didaratan Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya
sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa, ia
tidak merasa kesulitan melakukan dakwah. Nah, Sering
kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang
bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah
adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja
Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian
disebut Sunan Gunungjati. Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang
dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah
Portugis. Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat
Sultan Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai Fathullah atau Fatahillah atau
Faletehan menurut lidah orang Portugis. Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah
Muda’im datang di negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah
mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu
disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi
sudah wafat, guru Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di
Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya, Syarifah
Muda’im minta agar diijinkan tinggal di Pasambangan atau Gunungjati. Syarifah
Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk
Kahfi membuka Pesantren Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif Hidayatullah
lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati. Tibalah saat yang ditentukan,
Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif
Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena usianya sudah lanjut
Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif
Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi.
Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung
ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu
diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Mesti Prabu Siliwangi tidak mau
masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah
Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan ke Serang.
Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari
Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu. Kedatangan Syarif
Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah
dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari
perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai orang putra yaitu
Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan agama islam di
Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian,
beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak.
Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari pergaulannya
dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah
mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang
pertama dengan gelar Sultan. Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon
tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat
Kadipaten Galuh. Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan oleh Raja
Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli siapa yang berdiri di balik Kesultanan
Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki
Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Syarif Hidayatullah yang dianggap
lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi usaha ini tidak
berhasil, Ki Jagabaya dan anak buahnya malah tidak kembali ke Pajajaran, mereka
masuk Islam dan menjadi pengikut Syarif Hidayayullah. Dengan bergabungnya
prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh
Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti : Surantaka, Japura, Wana
Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon.
Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah
pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang
menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang keluarga
istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke
Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.
Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan putri
Kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari
dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin
menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata
menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan. Sesudah
kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien di ganti namanya menjadi Nyi Ratu
Rara Semanding. Kaisar ayah Putri Ong Tien ini membekali putranya dengan harta
benda yang tidak sedikit, sebagian besar barang-barang peninggalan putri Ong
Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan
di tempat yang aman. Istana dan Masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas
lagi dengan motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina. Masjid Agung Sang
Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri
Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu melibatkan banyak pihak,
diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah.
Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan
Soko Tatal sebagai lambang persatuan ummat. Selesai membangun masjid, diserukan
dengan membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan
daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh
Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan
wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah
semakin terhimpit. Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis.
Selanjutnya mereka ingin meluaskan kekuasaan ke Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda
Kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak
Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu
Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang
Portugis di Malaka. Tapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan Portugis
terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang kuat di Malaka.
Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka)
bernama Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi
bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau ingin menyebarkan agama
Islam di Tanah Jawa. Raden Patah wafat pada tahun 1518, berkedudukannya digantikan
oleh Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor, baru saja beliau dinobatkan
muncullah pemberontakanpemberontakan dari daerah pedalaman, didalam usaha
memadamkan pemberontakan itu Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia, gugur
sebagai pejuang sahid. Pada tahun 1521 Sultan Demak di pegang oleh Raden
Trenggana putra Raden Patah yang ketiga. Di dalam pemerintahan Sultan Trenggana
inilah Fatahillah diangkat sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan
mengusir Portugis di Sunda Kelapa. Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan
Portugis di Malaka sekarang harus mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula
pasukan yang dipimpinnya menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu
kemudian menuju Sunda Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan
Pajajaran. Mengapa Pajajaran membantu Portugis ? Karena Pajajaran merasa iri
dan dendam pada perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas, ketika Portugis
menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai Cirebon
maka Raja Pajajaran menyetujuinya. Mengapa Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu
tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati ? Karena Sunan Gunungjati tahu dia harus
berperang melawan kakeknya sendiri, maka diperintahkannya Fatahillah memimpin
serbuan itu. Pengalaman adalah guru yang terbaik, dari pengalamannya bertempur
di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis.
Itu sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan
Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran
kalah, Portugis kembali ke Malaka, sedangkan Pajajaran cerai berai tak menentu
arahnya. Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan
para pemberontak yaitu sisa-sisa pasukan Pajajaran. Usaha ini tidak menemui
kesulitan karena Fatahillah dibantu putra Sunan Gunungjati yang bernama
Pangeran Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi
penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin. Fatahillah kemudian diangkat
segenap Adipati di Sunda Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi
Jayakarta, karena Sunan Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah memanggilnya
untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata di Jawa Barat.
Berturut-turut Fatahillah dapat menaklukkan daerah TALAGA sebuah negara kecil
yang dikuasai raja Budha bernama Prabu Pacukuman. Kemudian kerajaan Galuh yang
hendak meneruskan kebesaran Pajajaran lama. Raja Galuh ini bernama Prabu
Cakraningrat dengan senopatinya yang terkenal yaitu Aria Kiban. Tapi Galuh tak
dapat membendung kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan senopatinya tewas dalam
peperangan itu. Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya
Sunan Gunungjati memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati
menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah
selaku Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia
Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran
Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon ke dua dengan gelar Pangeran Pasara
Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus
Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan. Sunan Gunungjati lebih memusatkan
diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau Pesantren Pasambangan.
Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin
meninggal dunia mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan kemudian diberikan
kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan Maulana Hasanuddin, dengan
kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan sebagai
kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu Adipati Carbon I.
Adpati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan
Cirebon oleh Sunan Gunungjati. Adapun nama aslinya Adipati Carbon adalah Aria
Kamuning. Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568, dalam usia 120 tahun. Bersama
ibunya, dan pangeran Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung Sembung. Dua tahun
kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang sama,
makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga.
Nah, jadi dari penjelasan di atas terungkap sudah bahwa mereka adalah dua sosok yang berbeda tapi memiliki kekerabatan. Itulah sedikit penjelasan mengenai Sunan Gunung Jati dengan Fatahillah. Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar